Ronaldus Mbrak : Bertani, Ilmu dan Uang

By | June 29, 2015

Asmat-RonaldusPetani. Semua orang mengenal sebutan ini, namun berapa orang yang betul-betul memahami arti dan peran petani? Boleh dikatakan tidak ada satu pun hal dalam kehidupan kita yang lepas dari karya tangan petani yang dikerjakan dengan susah payah dan derita di bawah terik matahari, namun penuh dengan  pengetahuan.

Jika kita berbicara mengenai petani, pikiran akan melayang tidak saja kepada mereka yang bekerja di lahan/kebun masing-masing yang berhubungan dengan tanaman apa saja. Namun petani juga berarti seluruh kebutuhan pangan dan gizi kita, baik itu dalam bentuk makanan pokok,  sayur mayur, buah, dll.

Tapi nama besar petani makin terlupakan dan tersingkir bahkan mungkin oleh yang bersangkutan sendiri karena ilusi keberadaannya. Petani dijadikan obyek semata, kehilangan harga dirinya. Sekalinya ada yang memberi perhatian dan kepedulian padanya, itu hanya menyentuh hal-hal di permukaan saja. Eksistensi petani tidak lepas dari tanah/lahan, bibit, dan alat-alat kerja mereka. Tapi yang terjadi, sebagian besar masyarakat di Provinsi Papua Kabupaten Asmat, Distrik Safan, Paroki Pirimapun yang meliputi 12 stasi seperti terlepas dari tanah/lahan mereka sendiri dan sejauh ini mereka hanya membiarkan lahan mereka yang begitu besar itu tertutupi oleh rumput, tanpa ada yang mau mengelola. Selama saya hidup dan tinggal dengan mereka, saya melihat mereka baru mau berkerja jika ada uang, sebungkus rokok, gula, dan kopi. Jika tidak ada barang-barang itu, mereka tidak akan mau berkerja.

Mereka tak menyadari bahwa dengan mengolah tanah, mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dalam rumah tangga mereka dan dapat memenuhi gizi untuk anak-anak mereka di usia dini. Akan tetapi mereka belum benar-benar menyadari akan hal ini. Mereka belum bisa melepas kebiasaan buruk mereka yang selalu menunggu uang dulu baru mau bekerja. Contohnya yang baru-baru ini terjadi, di Kampung Pirimapun pada 28 Mei 2015 lalu Dinas Pertanian memberikan uang sebesar Rp. 5 juta untuk menggarap 2 hektar ladang. Keberadaan uang ini membuat masyarakat di Kampung Pirimapun semangat dan mau bekerja. Tetapi setelah masyarakat mulai bekerja dan menanam bibit padi, setelah padi siap untuk dipanen, masyarakat mulai bingung mau dikemanakan hasil padi tersebut karena kebanyakan padi-padi yang ditanam di setiap kampung, setelah panen hanya menjadi hiasan di dalam rumah mereka saja dan malah menjadi makanan tikus. Tidak ada kelanjutan dari pemerintah untuk mengolah padi tersebut.

Kebiasaan pemerintah yang selalu membuat pelatihan tanpa melakukan praktek langsung di lapangan, membuat masyarakat menjadi kurang paham, karena mereka hanya datang, duduk, mendapat uang duduk kemudian pulang. Gaya seperti ini hampir selalu diterapkan di setiap kampung. Apakah dengan memberi uang duduk yang besarnya hanya Rp. 200.000 per orang  dapat merubah hidup masyarakat menjadi lebih mandiri? Dan saya melihat beberapa pelatihan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat yang berada di kampung-kampung itu ke depannya tidak berjalan dengan baik. Karena dengan adanya uang-uang itu, masyarakat sudah tidak mau bekerja lagi.

Dapat dikatakan bahwa masyarakat terlalu bergantung kepada pemerintah, padahal mereka tidak menyadari bahwa pemerintah tidak setiap saat mau memberikan uang kepada mereka. Kalau terjadi seperti ini terus, kapan masyarakat -terutama yang berada di pedalaman- bisa belajar hidup mandiri? Tapi kami dari keuskupan akan berkarja keras bersama-sama dengan masyarakat agar mereka mengerti bagaimana cara mengolah tanah mereka sendiri dengan benar kemudian mulai bertanam dengan benar juga. Karena dengan memulai bertanam mereka dapat mencukupi makan minum mereka sehari-hari dan juga kebutuhan rumah tangga mereka. Ke depannya, anak –anak mereka pun akan terhindar dari gizi buruk.

Itulah kami, Keuskupan Agats. Kami datang tidak dengan uang, kami datang dengan ilmu.

Penulis:
Ronaldus Mbrak
Staf lapangan di komunitas masyarakat Asmat

One thought on “Ronaldus Mbrak : Bertani, Ilmu dan Uang

  1. rikki

    Trima kasih sharingnya. Apakah keuskupan agats masih membutuhkan sukarelawan, sy tertarik bergabung. Mohon tanggapannya KK.

    Reply

Leave a Reply to rikki Cancel reply

Your email address will not be published.